M. Hendri Agustiawan, SH, SA

Sabtu, 30 Desember 2017

PANDANGAN AS-SUYUTHI TTNG MENGAMALKAN HADITS DLO'IF


by alfasiry_

Mengenai masalah mengamalkan hadits dho’if, Imam Ibnu Sholah (557-643 H), Imam Nawawi (631-676 H),  al-Hafidz Ibnu Hajar (773-852 H) dan Imam Suyuthi (849-911 H) merupakan satu paket manhaj yang sama dan saling melengkapi.

Kitab ulumul hadits yang disusun oleh Imam Ibnu Sholah pada abad ke 7 secara brilian memaparkan teori lengkap mengenai ilmu hadits baik diroyah maupun riwayah. Kitab ini disederhanakan setelah puluhan tahun kemudian oleh Imam Nawawi supaya ringkas dan mudah dipahami yang diberi nama at-taqrib wat-taisir. Kemudian Imam Suyuthi dipenghujung abad 9  menulis syarah dari ringkasan an-Nawawi ini dan diberi nama Tadribur-Rawi syarhu taqrib an-Nawawi. As-Suyuthi dalam kitab syarahnya tersebut seringkali merujuk dan menukil pemikiran ilmu hadits dari fakar hadits yang disebutnya sebagai syeikhul Islam. Dan yang dimaksudkan beliau dengan sebutan tersebut tidak lain kecuali al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani.

Jika kita  baca kitab tadribur-Rawi, kita pasti menemukan sebutan Syeikh, Mushonnif dan Syeikhul Islam didalamnya.

Sebutan Syeikh dimaksudkan as-Suyuthi kepada Imam Ibnu Sholah. Sebutan Mushonnif dimaksudkan kepada Imam Nawawi sedang yang dimaksud dengan sebutan Syeikhul Islam adalah al-Hafidz Ibnu Hajar.
Dalam kitab Tadribur-Rawi 1/360, Imam Suyuthi membuat satu judul khusus yaitu,

شروط العمل بالأحاديث الضعيفة
_“Syarat-syarat mengamalkan hadits dlo’if”_

Dalam bab ini dijelaskan oleh beliau pandangan Ibnu Sholah yang telah diringkas Imam Nawawi kemudian diberi penjelasan/perbandingan pendapat yang di konversikan dengan pandangan Ibnu Hajar.

Berikut ini terjemahan bebas syarah Imam Suyuthi:

“Menurut Ahli Hadits dan yang lainnya dibolehkan tasahul (bersikap lunak) terhadap sanad hadits dloif serta periwayatan selain yang Maudlu’ dari hadits dlo’if. Serta (dibolehkan) mengamalkannya tanpa menjelaskan kedloifannya dalam hal selain yang berkaitan dengan Aqidah (sifat Allah ta’ala, yang jaiz maupun yang mustahil bagi-Nya) penafsiran kalam-Nya, atau Hukum-hukum seperti halal dan haram dan sebagainya.

Hadits dloif yang dibolehkan diatas seputar, kisah-kisah, fadlo’il amal dan nashihat.

Diantara muhadits yang berpandangan demikian seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Mahdi dan Ibnul Mubarok. Mereka berkata:

إِذَا رُوِّينَا فِي الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ شَدَّدْنَا، وَإِذَا رُوِّينَا فِي الْفَضَائِلِ وَنَحْوِهَا تَسَاهَلْنَا.
_Jika kami meriwayatkan hadits tentang halal dan haram, maka kami bersikap keras. Sedang jika kami meriwayatkan mengenai fadloil amal dan sebangsanya, kami bersikap lunak.”_

As-Suyuthi memberi penjelasan, bahwa Ibnu Sholah dan Imam Nawawi tidak menyebutkan syarat bolehnya meriwayatkan dan mengamalkan hadits dlo’if selain apa yang telah disebutkan diatas. Yaitu selama bukan hadits maudlu’ dan hanya berkaitan dengan fadloil amal atau sejenisnya.

Sementara Ibnu Hajar al-Asqolani merinci persyaratan ini menjadi 3 yaitu:

1. Kedloifan haditsnya ringan/tidak berat. Dengan demikian tidak termasuk hadits yang diriwayatkan tunggal melalui rawi pendusta, dituduh dusta dan yang kentara/sangat kekeliruannya. (al-Ula’i  menukil ini sebagai kesepakatan para muhaddits)
2. Hadits dloif tersebut berada dibawah dasar amalan yang dilegalkan syari’at.
3. Tidak meyakini benarnya/tetapnya hadits dloif tersebut ketika diamalkan, hanya sekedar kehati-hatian saja.

Persyaratan yang dirinci Ibnu Hajar ini disepakati as-Suyuthi dan beliau tidak mengkritisinya sedikitpun.

Demikianlah tinjauan sederhana mengenai pandangan Imam Suyuthi mengenai Hukum mengamalkan hadits Dho’if.

Allahu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar