M. Hendri Agustiawan, SH, SA

Selasa, 19 Desember 2017

HOMOSEKSUAL MENURUT IMAM AN-NAWAWI

Kata An-Nawawi, siapapun yang menghalalkan sesuatu yang jelas haram seperti liwath (homoseksual) maka dia dihukumi murtad, kafir dan telah keluar dari Islam. An-Nawawi berkata,

أَوِ اسْتَحَلَّ مُحَرَّمًا بِالْإِجْمَاعِ كَالْخَمْرِ وَاللِّوَاطِ…فَكُلُّ هَذَا كُفْرٌ

Artinya : “atau (barangsiapa) menghalalkan sesuatu yang sudah ijma’ haram seperti khomr atau liwath….maka semua ini adalah kekufuran” (Roudhotu Ath-Tholibin, juz 10 hlm 64-65)

An-Nawawi menulis ungkapan di atas pada bab “Riddah” (kemurtadan). Artinya poin-poin yang dirinci oleh beliau adalah hal-hal yang membuat seseorang dihukumi murtad, kafir, dan telah keluar dari Islam.

Keharaman liwath memang termasuk perkara yang “ma’lumun min ad-din bi adh-dhoruroh” (perkara agama yang telah diketahui hukumnya secara pasti oleh semua orang Islam tanpa ada perselisihan, kesamaran, dan perdebatan) sebagaimana haramnya zina, minum khomr, makan babi, durhaka kepada orang tua, membunuh tanpa haqq dan semisalnya. Tapi, percaya atau tidak, di zaman sekarang ada sebagian orang yang menisbatkan diri pada Islam (liberal) yang berani dan terang-terangan menghalalkan liwath!

Mungkin ini yang dikhawatirkan Nabi dalam hadis berikut,

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي عَمَلُ قَوْمِ لُوطٍ

Artinya: “Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: ‘Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan terhadap umatku adalah perbuatan kaum Luth.’’”

Hari ini, apa yang dikhawatirkan Nabi telah menjadi kenyataan. Ada sejumlah orang yang lahirnya mengaku Islam tapi menyerukan penghalalan liwath, bahkan ada pula yang menjadi “praktisi” perbuatan tersebut.

Sesungguhnya liwath adalah perilaku yang jauh dari fitrah. Jika kita asumsikan satu generasi saja sudah terinfeksi penyimpangan ini, maka bisa dipastikan tidak akan ada kelahiran. Jika tidak ada kelahiran, maka spesies manusia akan musnah. Kalaupun kelahiran bisa dilakukan melalui kloning misalnya, tetap akan menghancurkan ajaran nasab dalam Islam.

Demikian jauhnya liwath dari fitrah, sampai-sampai salah seorang khalifah Bani Umayyah yang bernama Al-Walid bin Abdul Malik merasa tidak percaya, bahkan sekedar membayangkan sekalipun. Beliau baru tahu ada lelaki yang menyetubuhi lelaki karena Al-Qur’an menceritakannya. Ibnu Katsir (1998: 445) menukil ucapan ini dalam tafsirnya,

وَقَالَ الْوَلِيدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ الْخَلِيفَةُ الْأُمَوِيُّ، بَانِي جَامِعِ دِمَشْقَ: لَوْلَا أَنَّ اللَّهَ، عَزَّ وَجَلَّ، قَصَّ عَلَيْنَا خَبَرَ لُوطٍ، مَا ظَنَنْتُ أَنَّ ذَكَرًا يَعْلُو ذَكَرًا

Artinya: “Al-Walid bin Abdul Malik Khalifah Al-Umawi (orang ini yang membangun Masjid Damaskus) berkata,: ‘Seandainya Allah tidak menceritakan kisah Nabi Luth, maka aku tidak pernah menduga seorang lelaki menyetubuhi laki-laki.’”

Sedihnya, perilaku liwath ini pada zaman sekarang didukung oleh kekuatan-kekuatan besar yang pengaruhnya mendunia. Di negeri kita bahkan telah menjelma menjadi satu gerakan massif.

Setidaknya ada 4 strategi yang dilakukan mereka untuk melegalkan homoseksual yang mengarah pada legalitas perkawinan sesama jenis yaitu,

(1) mengorganisir kaum homoseksual untuk bersatu dan berjuang merebut hak-haknya yang dianggap telah “dirampas” oleh negara,

(2) memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri kaum homoseksual adalah sesuatu yang normal dan fitrah, sehingga masyarakat tidak mengucilkannya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat mendukung setiap gerakan kaum homoseksual dalam menuntut hak-haknya,

(3) melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum homoseksual, dan

(4) menyuarakan perubahan UU Perkawinan No 1/1974 yang mendefinisikan perkawinan harus antara laki-laki dan wanita.

Bisa dibayangkan betapa beratnya perjuangan mengedukasi masyarakat bahwa perilaku tersebut adalah orientasi seksual yang menyimpang dengan adanya tantangan-tantangan seperti di atas.

Tetapi di tengah-tengah gempuran propaganda yang berusaha menghalalkan liwath ini, senantiasa ada hamba-hamba Allah yang berusaha memberikan penyadaran kepada umat, baik di kalangan ulama, para dai, bahkan orang-orang umum yang kuat keislamannya. Dalam memberikan penyadaran, edukasi, dan pendampingan untuk terapi kesembuhan, ada yang melakukan dengan pendekatan psikologi, pendekatan medis, pendekatan pendidikan, pendekatan sains, termasuk pendekatan dalil.

Dalam rangka berpartisipasi memberikan penyadaran kepada kaum muslimin terkait haramnya liwath, termasuk yang semisal dengannya seperti Lesbianisme, Biseksual dan Transgender maka saya sekitar dua tahun yang lalu menulis buku khusus berjudul “LGBT dalam tinjauan Fikih”. Buku ini fokus pada pembahasan hukum fikih Islam terkait topik tersebut, tanpa berusaha menyorot dengan pendekatan-pendekatan lain yang bukan bidang saya.

Referensi yang saya pakai di antaranya kitab “Dzammu Al-Liwath” karya Al-Ajurri, makalah Dr. Wasim Fathullah yang berjudul “ Tahdziru Ahli Ash-Shiroth Min Ahli As-Sihaq Wa Al-Liwath”, tafsir ayat-ayat tentang liwath, kitab “Ad-Da’ Wa Ad-Dawa’ karya Ibnu Qoyyim, kitab “Dzammu Al-Hawa” karya Ibnu Al-Jauzi, kitab “Al-Kaba-ir” karya Adz-Dzahabi, kitab “Az-Zawajir” karya Ibnu Hajar Al-Haitami, kitab “Qoshoshu Al-Anbiya’” karya Ibnu Katsir khusus bab tentang kisah nabi Luth, kitab “Nizhom Al-‘Uqubat” karya Taqiyyuddin An-Nabhani, syarah-syarah hadis terkait liwath yang terdapat pada kitab-kitab syarah seperti “Nailu Al-Author” karya Asy-Syaukani dan “Subulu As-Salam” karya Ash-Shon’ani, pembahasan fikih liwath pada kitab-kitab fikih besar seperti “Al-Majmu’” karya An-Nawawi, “Al-Hawi Al-Kabir” karya Al-Mawardi, “Al-Muhadzdzab” karya Asy-Syirozi, “Al-Mughni” karya Ibnu Qudamah, dan “Al-Muhalla” karya Ibnu Hazm. Tidak lupa kita manfaatkan juga kitab fikih yang populer di zaman sekarang seperti “Al-Fiqhu Al-Islami” karya Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqhu As-Sunnah” karya Sayyid Sabiq, “Al-Musu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah” dan lain-lain. Juga puluhan referensi sekunder lain yang membantu.

Adapun isi bukunya, ada tiga bahasan utama yang diuraikan yaitu, kupasan terkait liwath (homoseksual), kupasan terkait sihaq (lesbianisme) dan kupasan terkait takhonnuts (perilaku banci/efeminesi)-tarojjul (perilaku tomboi). Pembahasan terpanjang adalah pembahasan tentang liwath.

Pada saat membahas analisis bahasa liwath, diuraikan mengapa perilaku homoseksual diistilahkan dengan liwath yang dipecah dari nama Nabi Luth (لوط). Setelah itu dibahas hukum liwath. Dalam bab itu diuraikan bagaimana tegas dan kerasnya syariat Islam mengharamkan liwath melalui banyak dalil. Setelah itu secara khusus diuraikan kisah Nabi Luth secara singkat berdasarkan sumber-sumber yang kredibel agar kita selalu ingat betapa marahnya Allah dengan perilaku menyimpang ini.

Setelah itu dibahas panjang lebar tentang sanksi hukum Islam terhadap pelaku liwath ini. Dijelaskan di dalamnya bagaimana para fuqoha’ berbeda pendapat terkait sanksi terhadap mereka. Ada yang berpendapat hukumannya adalah dibunuh, ada yang berpendapat hukumannya disamakan dengan pelaku zina, dan adapula yang berpendapat hukumannya digolongkan ta’zir sehingga diserahkan pada ijtihad penguasa.

Yang berpendapat dihukum bunuh pun berbeda pendapat terkait caranya. Ada yang berpendapat cara membunuhnya dirajam, dijatuhkan dari tempat tinggi dengan kepala terbalik setelah itu dirajam, dipenggal kepalanya, dijatuhi tembok sampai mati, dibakar, dan dipenjara di tempat busuk sampai mati. Dari sekian variasi ikhtilaf ini kemudian diuraikan pendapat terpilih. Setelah itu pembahasan tentang liwath ditutup dengan pembahasan bagaimana hukumnya jika ada dua lelaki yang bercumbu tapi tidak sampai melakukan sodomi. Termasuk juga dibahas bagaimana hukumnya jika yang disodomi adalah wanita, bukan lelaki.

Setelah itu pada bagian kedua dibahas tentang hukum sihaq/lesbianisme dalam Islam termasuk sanksi sistem hukum Islam terkait perilaku ini.

Lalu pada bagian ketiga dibahas tentang perilaku banci dan tomboi yang secara alami akan menyeret pada tindakan liwath, sihaq, biseksual dan transgender. Dalam bab ini dibahas orang-orang banci yang ternyata sudah ada sejak zaman Nabi, macam-macam orang banci dan tomboi, hukum berperilaku banci dan tomboi, dan sanksi perilaku banci atau tomboi.

Dibahas juga bagaimana hukum jika menuduh orang lain banci atau tomboi, hukum orang banci menjadi imam salat, hukum penghasilan banci, hukum orang banci melihat wanita ajnabiyyah, hukum pernikahan orang banci, hukum mengucapkan salam kepada orang banci, hukum sembelihan banci, dan hukum persaksian banci.

Setelah itu, buku ini ditutup dengan pembahasan taubat dari perilaku LGBT.

Buku ini diterbitkan Universitas Brawijaya Press tahun 2016 yang lalu dengan kata pengantar Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, yaitu Dr.dr. Sri Andarini, M.Kes. Tebalnya 263 halaman.

أعاذنا الله من شر اللواط وشياطينه

Versi Situs: http://irtaqi.net/2017/12/19/membolehkan-homoseksual-menurut-imam-nawawi/

***
Muafa
1 Robi'u Ats-Tsani 1439 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar