M. Hendri Agustiawan, SH, SA

Sabtu, 25 Juni 2016

KH. Turaikhan Adjuhri

Kata Pengantar

Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ‘’KH Turaikhan Adjuhri: Sang Pakar Falak Indonesia ‘’ ini dengan baik. Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah, Pemikiran Tokoh Pesantren. Makalah ini menjelaskan biografi dan pemikiran-pemikiran KH Turaikhan Adjuhri yang merupakan salah satu pakar ilmu Falak di Indonesia . Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen pengampu Dr. Farid Zaini Lc.MHI.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis peroleh dari buku panduan serta infomasi dari media massa yang berhubungan dengan biografi dan pemikiran-pemikiran tokoh pesantren Indonesia kaitanya di dalam menjelaskan biogafi dan sepak terjang  KH Turaikhan Adjuhri dalam keumatan dan kontribusinya dalam masalah keilmuan Falak.
Penulis berharap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, khususnya bagi penulis. Dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai biografi dan pemikiran-pemikiran KH Turaikhan Adjuhri yang merupakan salah satu pakar ilmu Falak di Indonesia. Akhir kata, mungkin dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan. Kritik dan saran tentunya sangat kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan. Akhirnya  penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Tebuireng, 25 Mei 2016


Daftar Isi

Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Daftar Gambar iii
BAB I  : Pendahuluan 1
A. Latar Belakang 1
B. Maksud dan tujuan penulisan 1
BAB II : Pembahasan 2
A. Kelahiran dan Latar Belakang Keluarg 2
B. Masa Pertumbuhan dan Belajarnya 2
C. Membina Rumah Tangga 4
D. Perjuangan dan Kiprah di Masyarakat 5
E. Karya dan keilmuanya 6
F. Pemikiranya 8
G. Menghadap Sang Pencipta 13
H. Pesan- pesanya 13
BAB III :Penutup 14
A. Kesimpulan 14
BAB IV : Daftar Pustaka 15


BAB I  : Pendahuluan

A. Latar Belakang

Ilmu falak adalah merupakan salah satu ilmu yang penting dalam Islam. Ilmu ini sangat berkaitan erat dengan penanggalan (kalender), waktu shalat, arah kiblat, dan gerhana. Untuk penanggalan (kalender) ini, Islam mengenal berbagai istilah penanggalan, di antaranya kalender Masehi dan Hijriah. Penanggalan Hijriah perhitunganya didasarkan pada peredaran Bulan mengelilingi Bumi menurut arah Barat-Timur atau disebut pula dengan penanggalan Qomariyah (bulan). Sedangkan penanggalan Masehi menggunakan penanggalan Syamsiyah (menghitung waktu berdasarkan masa edar matahari).


Bagi sebagian orang, ilmu ini dikenal sangat rumit. Sebab, dibutuhkan perhitungan-perhitungan dan pengamatan yang cermat dan teliti, sehingga menghasilkan perhitungan yang sesuai (tepat). Karena itu, acapkali terdapat perbedaan di kalangan ulama dalam menentukan waktu yang sesuai dengan yang sebenarnya. Dan hanya orang-orang yang telaten, rajin, dan giat yang mampu dan mau berkecimpung dalam bidang ini. 


Dalam hal ini, umat Islam Nusantara memiliki salah seorang tokoh falak dari kota Kudus Jawa Tengah yang layak diteladani dan dijadikan panutan. Beliau adalah KH Turaikhan Adjhuri Asy-Syarofi, yang semasa hidupnya dipercayai menjadi Ketua Markas Penanggalan  Provinsi Jawa Tengah. Ulama kelahiran Kudus, 10 Maret 1915, ini dikenal sebagai 'gurunya para ahli ilmu falak Indonesia'. Kepakarannya dalam bidang ini sudah tak diragukan lagi, mengingat keilmuan dan kapasitasnya yang dalam menekuni ilmu falak. 


B. Maksud dan tujuan penulisan

Makalah ini bertujuan untuk memberi  informasi mengenai biografi, pemikiran-pekiran dan kiprah KH Turaikhan Adjhuri Asy-Syarofi dalam keilmuan khususnya ilmu Falak dan jasa-jasanya di dalam bermasyarakat.  

BAB II : Pembahasan

A. Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga

Diantara ulama besar kota Kudus yang kharismatik dan terkenal pada akhir abad 20 adalah Al Maghfurlah KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan Mbah Tur yang masih dianggap sebagai keturunan Syaikh Ja`far Shadiq atau Sunan Kudus.

Namun, Menurut KH. Khoiruzzad (putra dari KH. Turaikhan Adjhuri ) , Mbah Tur memiliki hubungan dengan garis keturunan KH. Mutamakkin (Kajen), seorang kiai karismatik yang dimakamkan di Kajen, Pati, Jawa Tengah,  yang mempunyai keturunan Ulama-ulama besar, seperti KH R. Asnawi, Raden Hambali, dan KH. Sahal Mahfudz.

Dari lampiran nasab yang diberikan oleh KH. Rofiq Chadziq (keponakan dari KH. Turaichan), diketahui bahwa kakek KH. Turaichan Adjhuri  yang bernama KH. Achmad Rifa’i memiliki nasab sampai Sunan Kudus dan Istri KH. Ahmad Rifa’i  yaitu Nyai Aminah (nenek KH. Turaichan) memiliki nasab sampai Syekh Achmad Mutamakkin (Kajen). Kedua silsilah tersebut didapat dari ibu beliau Dewi Sukainah (Istri dari KH.Adjhuri).

KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi dikenal sebagai pakar ilmu Falak atau Astronomi. Selain itu juga dikenal sebagai tokoh yang terkenal keteguhannya memegang prinsip dan akidah. Pendapat-pendapatnya dalam masalah fiqih juga sering mengejutkan kalangan ulama. Beliau lahir di Kuduspada tanggal 22 Rabiul Akhir 1334 H atau 10 Maret 1915 M. Ayah beliau bernama KH. Adjhuri sedangkan ibu beliau bernama Nyai Dewi Sukainah.

B. Masa Pertumbuhan dan Belajarnya

Pada masa kanak-kanaknya, KH. Turaikhan Adjhuri tumbuh dan berkembang seperti anak-anak pada umumnya. Turaikhan kecil hidup dalam lingkungan keluarga yang cinta agama dan ilmu pengetahuan. Sejak kecil sudah tampak kecintaannya pada ilmu agama. Waktunya banyak dihabiskan untuk belajar, mengaji dan muthalaah kitab. Beliau terkenal dengan anak yang cerdas, tegas dan teliti. Inilah ciri khas beliau yang dimiliki sejak kecil dan melekat sampai dewasa.Turaikhan kecil sedikit berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Jika umumnya mereka menyukai olahraga fisik, Turaikhan kecil tidak begitu suka pada olah raga fisik. Namun ada satu jenis permainan olah otak dan pikiran yang sangat beliau gemari yaitu catur. Beliau terkenal sangat pandai dalam bermain catur. Bahkan di masa kolonial Belanda beliau pernah diberi penghargaan karena kepiawaiannya dalam bermain catur.


Selain gemar bermain catur, sejak kecil beliau sudah menyukai seni bermain rebana. Kegemarannya bermain rebana ini terus berlanjut sampai beliau dewasa dan menjadi ulama besar. Maka ketika Madrasah TBS, tempat beliau mengajar,akan membuat Group Rebana, beliau sangat mendukungnya. Bahkan akhirnya Group Rabana TBS ini pernah menjuarai lomba rebana IPNU-IPPNU Kota Kudus.Ayah Turaikhan adalah seorang kiai sehingga dia belajar kepada sang ayah. Lingkungan tempat tinggalnya yang berdekatan dengan pesantren dan madrasah membuat Turaikhan hidup dalam suasana santri. Dan tidak seperti ulama besar pada umumnya, KH. Turaikhan tidak pernah secara resmi menjadi santri di pesantren manapun. Hanya saja beliau memang hidup di kota santri Kudus dan dilingkungan pesantren. Kebiasaan ini terbilang tidak lazim, kendati di pesantren dikenal dengan istilah santri kalong, yaitu santri yang belajar di pesantren, namun setelah belajar pada hari itu mereka kembali lagi ke rumahnya.Beliau memanfaatkan pengajian-pengajian yang digelar ulama kota Kudus. Bagi beliau belajar pada ulama di mana saja itu sama. Asalkan bersungguh-sungguh belajar, siapapun siapapun dapat memperoleh kesuksesan walau hanya di satu tempat karena Yang paling penting adalah keikhlasan niat dan kesungguhan belajarnya.

Dalam lingkup formal, beliau belajar di Madrasah Tasywiquth Thulab As Salafiyah atau disingkat TBS, di Kudus. Tepatnya sejak mulai berdirinya Madrasah TBS tahun 1928. Di madrasah TBS ini, beliau mendapat kesempatan belajar ilmu alat pada KH. Abdullah Aljufri, ilmu fiqih pada KH Muhit, ilmu falak pada KH. Abdul Jalil Hamid dan ilmu pengetahuan dan agama yang lainnya dari para kyai yang mengajar di TBS pada waktu itu.

Selain belajar di Madrasah TBS, di luar jam madrasah beliau juga belajar pada ulama terkemuka Kudus pada zamannya, semisal. KH. R. Asnawi, K. Maksum bin Ali Kuaron dari Jombang yang merupakan menantu dari KH. Hasyim Asy`ari, K. Fauzan, K. Ma`sum, ayah Kyai Fauzan, Kyai Muslim yang merupakan kakak dari Kyai Amin Said dan masih banyak lagi.

Di madrasah ini, Turaikhan hanya mengenyam pendidikan formal selama dua tahun saja. Namun karena kemampuanya yang melebihi rata-rata, maka beliau justru diperbantukan untuk membantu pelaksanaan belajar mengajar. Padahal ketika itu usia beliau masih 14 tahun. Mata pelajaran yang diajarkanya adalah ilmu Faroidh (ilmu waris) dan ilmu Falak (astronomi). Dua bidang ilmu inilah yang kelak akan melambungkan KH. Turaikhan. Namun demikian beliau tetap melanjutkan menuntut ilmu dalam garis tradisional (non formal).

C. Membina Rumah Tangga

Pada usianya yang ke- 27 tahun, tepatnya tahun 1942, KH. Turaikhan membangun rumah tangga dan menyunting seorang gadis shalehah bernama Masni`ah binti Marwan untuk dijadikan pendamping hidupnya. Dari pernikahannya dengan Nyai Masni`ah beliau dikaruniai 10 orang putera puteri. Namun kini yang tinggal hanya 4 orang (2 putra dan 2 puteri) yaitu KH. Choirozad yang sekarang mengajar di Madrasah TBS Kudus. Anak beliau yang kedua dan ketiga adalah perempuan yang bernama Fihris dan Naila. Putra beliau yang terakhir bernama Drs. Sirril Wafa, MA yang sekarang menjadi dosen di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Pada tahun 1969 untuk pertama kalinya beliau berangkat ibadah haji untuk pertama kalinya. Dan pada tahun 1992 beliau kembali berangkat haji ke tanah suci bersama puteranya yang bernama KH. Choirozad dan ulama Kudus lainnya.


D. Perjuangan dan Kiprah di Masyarakat

Dalam dunia pendidikan dedikasi Mbah Tur yang dipersembahkan untuk generasi penerus bangsa dan agama sangatlah besar. Kapasitas keilmuannya juga sulit dicari padanan dan gantinya. Pasalnya ketika beliau berumur 14 tahun beliau sudah mampu mengajar di Madrasah TBS Kudus. Khususnya dalam bidang ilmu Falak dan Faraidh, sampai sekarang banyak kalangan ulama di Kudus yang merasakan belum menemukan pengganti beliau.

Selain mengajar di madrasah TBS, beliau juga membuka pengajian kitab kuning di rumahnya. Sehari-harinya beliau juga sibuk memberikan pengajaran dan pengajian di masjid dan majlis-majlis pengajian di kota Kudus dan sekitarnya. Dalam bulan-bulan tertentu, misalnya Sya`ban dan Ramadan beliau mengajar kitab-kitab khusus. Misalnya pada bulan Sya`ban, beliau mengajar kitab-kitab yang beliau ajarkan di Madrasah TBS tapi belum khatam. Biasanya untuk kesempatan ini banyak santri-santri TBS mempergunakannya dengan sebaik-baiknya. Mereka datang berduyun-duyun untuk mengaji di kediaman beliau demi mengkhatamkan sebuah kitab. Bagi santri mengkhatamkan sebuah kitab langsung dibawah asuhan seorang ulama besar adalah suatu kebahagiaan dan keberuntungan yang tiada taranya. Lain halnya di bulan Ramadhan, beliau mengajarkan kitab-kitab tertentu seperti kitab Adzkiya, Isyadul Ibad, dan Hikam yang digunakan sebagai aurod atau wirid tetap pada bulan Ramadhan. Namun pada tahun-tahun beliau menginjak usia senja dan menjelang wafat, beliau selalu mengajarkan kitab-kitab tentang akidah atau teologi mulai dari yang kecil seperti Tuhfah al Murid sampai yang besar seperti Dasuqi.

Untuk mengawal kegiatan dakwahnya ,KH. Turaihan atau Mbah Tur Tak hanya aktif dalam dunia pendidikan, tapi juga  ikut aktif dan andil bagian dalam organisasi kemasyarakatan terkemuka, yaitu Nahdhotul Ulama. Dalam Organisasi ini beliau aktif sebagai pengurus di NU Kudus. Beliau bahkan pernah ditunjuk sebagai musytasyar dalam muktamar NU. Juga pernah sebagai anggota Tim Lajnah Falakiyah PBNU. Pernah ditunjuk sebagai panitia Ad Hoc PBNU Pusat dan juga pernah menjabat Rais Syuriah NU Cabang Kudus. Jabatan sebagai Tim lajnah  Falakiyah PBNU  mempopulerkan nama kiai ini sebagai pakar falak nasional.


Partisipasi Mbah Tur dalam Muktamar NU merupakan suatu keistimewaa tersendiri bagi ulama yang terkenal dengan teguhnya memegang prinsip dan pendapat ini. Pada saat beliau yang baru berumur 15 tahun sudah ikut andil dalam berbagai Muktamar yang digelar oleh Jam`iyyah NU, yang keikutsertaanya bukan sebagai partisipan pasif tapi sebagai seorang musyawir aktif. Dalam usia yang muda beliau telah ikut memberikan pendapat dalam pelbagai forum bahtsul masail yang digelar dalam muktamar. Seringkali pendapat beliau bergesekan dengan ulama yang yang lebih tua dari beliau.


Selain pengabdian beliau pada NU, beliau juga ikut menyumbangkan pikiran, tenaga dengan ditunjuknya beliau sebagai hakim agama di Kudus. Beliau juga pernah ditunjuk sebagai tim rukyah dan hisab oleh Depag. Juga pernah berkiprah dalam dunia politik sekitar tahun 1955. Karir politik tertinggi yang pernah beliau capai adalah terpilihnya beliau anggota konstituante mewakili NU yang kala itu menjadi parpol. Menurut para ahli pemilu pertama republik ini tahun 1955, merupakan pemilu paling jujur, perolehan suara NU menempati posisi ke-3 setelah Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Masyumi, lalu disusul Partai Komunis Indonesia yang menempati posisi ke-4.


E. Karya dan keilmuanya

Sebeumnya telah disebutkan, bahwa KH. Turaihan mengajar ilmu faroidh dan ilmu falak ketika mengajar di madrasah TBS Kudus. Dua ilmu itu pula yang menjadi keahlianya hingga dikenang masyarakat Kudus dan umat Islam pada umumnya. KH. Turaihan pernah menulis jadwal Faroidh. Kitab yang ditulis beliau ini dinilai banyak kalangan sangat praktis dan mudah dipahami. KH. Turaihan termasuk kiai yang menjaga kelangsungan ilmu ini. Karena dalam sebuah hadis disebutkan, bahwa ilmu faroidh termasuk ilmu mula-mula yang akan dihilangkan dari muka bumi dengan cara menghilangkan nyawa orang-orang yang ahli dalam bidang ini.

Kepakaranya dalam bidang falak dibuktikanya dengan diterbitkanya  Almanak Menara Kudus setiap tahunnya sampai beliau wafat. Almanak Menara Kudus ini adalah trade mark beliau dan mendapat kepercayaan dari masyarakat luas di penjuru pulau Jawa. Kepercayaan ini tak lepas dari kepakaran beliau dalam ilmu Falak atau ilmu Astronomi yang telah terbukti pada ketepatan hisab beliau. Misalnya mengenai hisab prediksi akan terjadinya gerhana bulan pada hari ini jam ini menit ini detik ini dan akan terjadi selama sekian lama, ternyata terbukti nyata. Bahkan sebelum wafat, beliau telah membuat almanak 200 tahun ke depan atau 2 abad. Sehingga setelah beliau wafat almanak yang beliau buat terus diterbitkan setiap tahunnya oleh Penerbit Manara Kudus. Beliau juga telah membimbing muridnya untuk membuat Hisab Urfi Hijriyah dari tahun 0 sampai tahun 4329 H, yang berarti telah membuat hisab urfi untuk dua ribu lima ratus tahun ke depan.


Jika berbicara masalah ilmu Falak di Indonesia tidak bisa meninggalkan nama KH. Turaihan. Namanya bahkan sering ditulis oleh media massa baik lokal maupun nasional tatkala ada perbedaan penentuan hari raya antara pemerintah dan tim lajnah Falak NU yang beliau pimpin. Beliau bahkan pernah dipanggil oleh Kodim berkaitan dengan pendapat beliau yang berbeda dengan pemerintah mengenai jatuhnya hari raya Idul Fitri.

Untuk ilmu Falak, KH. Turaihan tidak menuangkan buah pikirannya dalam bentuk buku. Namun di tangan beliau telah lahir ilmuan ahli Falak yang sangat mumpuni seperti Kyai Abu Saiful Mujab Nur Ahmad Ibn Shadiq Ibn Siryani, Ahmad Rofiq Chadziq, Sirril Wafa dan lain sebagainya.

Pada tahun 1985, KH. Turaihan mendorong salah seorang muridnya yang ikut mengajar di Madrasah TBS yaitu Kyai Abu Saiful Mujab Nur Ahmad Ibn Shadiq Ibn Siryani untuk mengkodifikasikan semua ilmu Falak yang telah beliau ajarkan kepadanya dalam bentuk sebuah karya yang sesuai dengan perkembangan zaman modern. Akhirnya pada tahun 1986, lewat tangan muridnya itu terbitlah buku-buku diktat pengajaran ilmu Falak yang merupakan buah ilmu yang telah diajarkan oleh KH. Turaihan. Buku diktat itu langsung dilihat dan diperiksa oleh KH. Turaihan setelah sebelumnya terlebih dahulu di periksa dan ditashhih oleh Ustadz Ahmad Rofiq yang juga murid KH. Turaihan. Melihat terbitnya buku-buku itu, KH. Turaihan merasa lega dan ia merasa tidak perlu lagi menulis karya dalam ilmu Falak, sebab tulisan muridnya yang merangkum semua yang telah dia ajarkan sudah dirasa cukup. 

F. Pemikiranya           Di kalangan ulama dan warga Nahdhatul Ulama, KH. Turaihan tidak hanya dikenal kepakarannya dalam ilmu Falak dan Faraidh saja, namun juga dikenal sebagai ahli fiqih yang pendapatnya sering membuat kaget banyak orang. Dan dalam akidah atau keyakinan, beliau adalah sosok yang memiliki keteguhan memegang prinsip dan keyakinan yang telah ia imani kebenarannya.


Kiai Turaikhan tidak sungkan-sungkan untuk menyampaikan pendapatnya meskipun bersebrangan dengan pendapat mayoritas. Apa yang menurut Kiai  Turaikhan benar akan disampaikan apa adanya. Beliau tampaknya benar-benar melaksanakan hadis Nabi bahwa kita harus menyampaikan kebenaran meskipun terasa pahit atau tidak populer (qulil haqqa wa lau kaana murran). Di bawah ini adalah beberapa pendapat beiau yang berseberangan dengan pendapat mayoritas kiai NU.

Pertama, Dalam majlis Bahtsul Masail yang digelar pada Muktamar NU Ke-26 pada tanggal 5 – 11 Juni 1979 di Semarang, KH. Turaihan mengutarakan pendapat yang cukup mengejutkan. Karena pendapat itu berseberangan dengan mayoritas ulama dan terutama berseberangan dengan pendapat KH. Bisri Samsuri, Rois `Am PBNU kala itu.

           Masalah yang dijadikan musyawarah dalam majlis itu adalah, “Apakah Al Quran boleh ditulis atau dicetak dengan huruf latin (selain huruf Arab rasm Utsmani) atau dengan tanda baca lain selain huruf brail? Dan apakah sama hukumnya dengan mushaf?”

  Dalam musyawarah itu, KH. Turaihan berpendapat boleh saja Al Quran ditulis atau dicetak dengan huruf latin (selain huruf Arab rasm Utsmani). Hanya saja beliau mensyaratkan saat membacanya harus tetap memakai kaidah tajwid yang benar. KH. Turaihan dalam melontarkan pendapat ini dengan tujuan untuk memudahkan orang yang tidak bisa membaca huruf Arab agar bisa dan berkesempatan membaca Al Quran. KH. Turaihan mendasarkan pendapatnya pada pendapat Imam Romli sebagaimana tertera dalam kitab Hasyiah al Tuhfah juz I hal 154, kitab Al Bijaerami `ala al Iqna` juz I halaman 304, Hasyiyah al Qalyubi juz I halaman 36, dan Hasyiyah al Jamal `ala al Minhaj juz I hal 76.

  Pendapat ini tentu saja membuat kaget para ulama peserta musyawarah yang hadir. Tak ayal lagi, musyawarah itu memanas dan mayoritas ulama yang ada menentang pendapat KH. Turaihan itu temasuk KH. Bisri Samsuri. Mereka berpegangan pada fatwa Imam Ibnu Hajar yang mengharamkan penulisan Al Quran dengan selain huruf Arab sebagai mana tertera dalam kitab I`anatu al Thalibin juz I hal 67 dan 68.

  Akhirnya majlis sepakat untuk memutuskan masalah ini sebagai berikut:a. Menulis Al Quran dengan tulisan selain huruf Arab termasuk tulisan latin sudah sepakat antara Imam Ibnu Hajar dan Imam Ramli tentang haramnya apabila merubah bunyi dan tulisan Al Quran. Bahwa menulis Al Quran dengan huruf latin ada manfaatnya terutama bagi orang yang buta huruf Arab. Tetapi bahayanya lebih banyak, antara lain akan mengurangi perhatian terhadap belajar membaca dan menulis huruf Arab. Juga, huruf latin tidak mencukupi bunyi-bunyi huruf Arab. Apabila Al Quran ditulis dengan huruf latin, maka bunyinya tidak akan sama dengan bunyi Al Quran yang berbahasa Arab itu dan akan merubah bunyi Al Quran dan tulisannya. Sedangkan merubah Al Quran itu dilarang (haram).

b. Apabila tidak merubah, maka menurut Imam Ibnu Hajar hukumnya tetap haram. Sedang menurut Imam Ramli hukumnya boleh. Pendapat Imam Ibnu Hajar inilah yang lebih mu`tamad (lebih kuat dan bisa dibuat pegangan). Selanjutnya menurut pendapat Rais `Am PBNU, KH. Bisri Sansuri mengenai ketengan dalam kitab Hasyiyah al Qalyubi juz I halaman 36 atau sesamanya adalah sebagai berikut: 

“Selanjutnya apabila menulis Al Quran dengan tulisan bukan tulisan Arab dianggap boleh, maka hukumnya sama dengan mushaf di dalam hal menyentuh dan membawa, dan sebaliknya. Dan berkenaan dengan penulisan Al Quran dengan huruf brail bagi orang buta, hukumnya boleh karena hajat. Dan mengenai penulisan Al Quran dengan huruf Arab bukan rasm Utsmani terdapat tiga pendapat. Dan yang kuat adalah pendapat Imam Malik serta Imam Ahmad, yaitu tidak boleh, sebagaimana keterangan yang ada dalam kitab I`anatu al Thalibin Juz I halaman 168” (Masykuri, 1996).

  Kedua, Dalam sebuah munazharah di masjid Menara Kudus, KH. Turaihan juga pernah mengeluarkan pendapat menentang arus dalam masalah wajib tidaknya membayar pajak. Menurutnya, membayar pajak tidak wajib zhahiran wa bathinan (baik secara lahir maupun batin), yang wajib adalah membayar zakat. Dalam masalah membayar pajak ini, di kalangan ulama Kudus memang ada tiga pendapat yaitu;

Pertama, wajib baik secara lahirnya maupun batin. Kedua, wajib secara lahir tetapi secara batin tidak wajib. Dan yang ketiga adalah tidak wajib baik secara lahir maupun batin. Adapun membayar zakat adalah termasuk hal yang ma`lum min al din bi dharurah akan kewajibannya jika telah sampai pada syarat-syaratnya (Awali, 2003).

  Ketiga, tahun 1984 NU adalah organisasi pertama yang menyatakan Pancasila sebagai asasnya. Keputusan yang dikeluarkan pada muktamarnya yang ke-27 di Situbondo in lalu diikuti organisasi lain. Ketika itu pemerintah Orde Baru memang mewajibkan seluruh organisasi seluruh tanah air harus berasaskan Pancasila . Menanggapi hal ini, Dengan terang-terangan KH. Turaihan tidak setuju NU berubah asas. Sebagai organisasi massa umat Islam maka asasnya harus tetap Islam dan dasar pijakannya harus istiqamah Al Quran dan Al Sunnah. Beliau menentang keras asas tunggal ini. Bahkan secara terbuka, demi mempertahankan prinsip dan keyakinan yang beliau anggap benar ini, beliau bersedia dan tidak merasa menyesal seandainya dikeluarkan dari NU. Keteguhan memegang prinsip ini sampai sekarang masih terus dikenang dan dijadikan semacam keteladanan oleh masyarakat santri kota Kudus.


Kendati berbeda pandangan, Kiai Turaichan tetap menjalin hubungan yang baik dengan pihak-pihak yang sering menolak keputusannya. Bahkan, ia juga selalu bersikap akomodatif pada pemerintah, walaupun pemerintah pernah beberapa kali mencekalnya. Pencekalan dilakukan karena Kiai Turaichan mengeluarkan pernyataan berbeda dengan pemerintah perihal penentuan awal bulan Syawal.

  Ia pernah sidang ke pengadilan pada 1984, ketika menentang perintah pemerintah untuk berdiam diri di rumah saat terjadi gerhana Matahari total pada tahun tersebut. Alih-alih menaati perintah itu, ia justru mengajak umat untuk melihat peristiwa tersebut secara langsung dengan mata kepala telanjang. Pada waktu terjadi peristiwa gerhana Matahari total tersebut, ia memberi pengumuman kepada umat Muslim di Kudus, bahwa gerhana Matahari total adalah fenomena alam yang tidak akan menimbulkan dampak (penyakit) apa pun bagi manusia jika ingin melihatnya, bahkan Allahlah yang memerintahkan untuk melihatnya secara langsung.

  Hal ini dikarenakan redaksi kabar mengenai fenomena alam itu menunjukkan keagungan Allah ini difirmankan oleh Allah menggunakan kata  abshara , yang berarti melihat secara langsung dengan mata, bukan makna denotatif seperti mengamati, meneliti, dan lain-lain, meskipun memang ia dapat berarti demikian secara lebih luas.

  Pada hari terjadinya gerhana Matahari total di tahun tersebut, Kiai Turaichan tengah berpidato di Masjid al-Aqsha, menara Kudus. Di tengah-tengah pidato, ia mengajak jamaah untuk menyaksikan langsung gerhana tersebut.

''Wahai Saudara-saudara, jika kalian tidak percaya, maka buktikan. Sekarang peristiwa yang dikatakan menakutkan, sedang berlangsung. Silakan keluar dan buktikan, bahwa Allah tidak menciptakan bala atau musibah darinya. Silakan keluar dan saksikan secara langsung!''

  Maka, para jamaah pun lantas berhamburan keluar, menengadah ke langit dan menyaksikan secara langsung dengan mata kepala telanjang terjadinya gerhana Matahari total. Setelah beberapa saat, para jamaah kembali ke tempatnya semula, dan Kiai Turaichan melanjutkan pidatonya. Dan faktanya, memang tidak terjadi apa-apa, termasuk musibah yang didengungkan oleh pemerintah.

  Namun karena keberaniannya ini, Kiai Turaichan harus menghadap dan mempertanggungjawabkan tindakannya di depan aparat negara yang sedemikian represif waktu itu. Meski demikian, sama sekali ia tidak menunjukkan tabiat mendendam terhadap pemerintah.

  Bahkan, hingga menjelang akhir hayatnya pada 20 Agustus 1999, ia termasuk ulama yang sangat antusias mendukung undang-undang pencatatan nikah oleh negara yang telah berlaku sejak 1946. Kiai Turaichan sangat getol menentang praktik-praktik  nikah siri atau di bawah tangan. Menurutnya, selama hukum pemerintah berpijak pada kemaslahatan umat dan tidak bertentangan dengan syariat Islam, maka wajib bagi seluruh umat Muslim yang menjadi warga negara Indonesia untuk menaatinya. Artinya, pelanggaran atas suatu peraturan (undang-undang) tersebut adalah juga dihukumi sebagai kemaksiatan terhadap Allah. Demikian pun menaatinya, berarti adalah menaati peraturan Allah.Hal inilah yang membuat kharisma dan kealiman Kiai Turaichan semakin diperhitungkan. Tak heran, bila namanya sangat masyhur sangat ahli ilmu falak yang sangat disegani.


G. Menghadap Sang Pencipta

  Kiai Turaikhan dikaruniai usia yang cukup panjang, 84 tahun. Kiai ahli falak ini menghembuskan nafas trakhirnya pada malam Sabtu, 9 Jumadil Awal 1420 Hijriyah bertepatan 20 Agustus 1999 Miladiyyah dan dimakamkan di Kudus. Karya, pemikiran dan perjuangannya telah dirasakan oleh masyarakat Kudus dan sekitarnya, bahkan oleh masyarakat Indonesia secara lebih luas. 


H. Pesan- pesanya

Beliau wafat dengan meninggalkan pesan yang sampai sekarang masih diingat oleh banyak orang. Pesannya pada keluarga, santri dan umat Islam secara umum adalah :

1) Segala langkah, prilaku dan perbuatan hendaklah ditimbang dengan timbangan syariah. Sesuai dengan syariat apa tidak? Melanggar syariat apa tidak?

2) Di akhir zaman ini janganlah mudah heran, takjub dan terlena pada hal-hal yang baru. Bisa jadi hal yang baru itu ternyata merusak agama dan keimanan. Dalam bahasa Jawa beliau mengatakan dengan singkat, “Ojo gumunan ojo gampang kepencut.”

3) Beliau berpesan dengan syair yang ditulis Imam Fudhail Ibn Iyad; “Alaika bi thariqil huda, Wala yadhurruka qillatus salikin Wa iyyaka wa turuwur rada, wala taghtar bikatsratil halikin Wazinu bil qistasil mustaqim. Dzalika khairun wa ahsanu ta`wila”, “Tetaplah pada jalur yang benar, sedikit orang yang menjalaninya tidak mengapa. Awas dan hindarilah jalan kerusakan, jangan terbujuk mesti banyak yang terjerumus ke dalamnya. Timbanglah dengan timbangan yang lurus itu lebih baik." 


BAB III :Penutup

A. Kesimpulan

a) KH. Turaikhan Adjhuri Es Syarofi dikenal sebagai pakar ilmu Falak atau Astronomi. Tidak hanya ahli dalam ilmu Falak, KH. Turaikhan juga ahli dalam ilmu Faroidh, Fiqh dan berbagai cabang ilmu lainya. Padahal beliau tidak pernah secara resmi menjadi santri di pesantren manapun. Hanya saja beliau memang hidup di kota santri Kudus dan dilingkungan pesantren. Tapi karena kegigihanya dan kemampuanya yang melebihi rata-rata, maka beliau justru diperbantukan untuk membantu pelaksanaan belajar mengajar. Padahal ketika itu usia beliau masih 14 tahun.

b) Sejak kecil sudah tampak kecintaannya pada ilmu agama. Waktunya banyak dihabiskan untuk belajar, mengaji dan muthalaah kitab.Selain belajar di Madrasah TBS, di luar jam madrasah beliau juga belajar pada ulama terkemuka Kudus pada zamannya, semisal. KH. R. Asnawi, K. Maksum bin Ali Kuaron dari Jombang yang merupakan menantu dari KH. Hasyim Asy`ari, K. Fauzan, K. Ma`sum, ayah Kyai Fauzan, Kyai Muslim yang merupakan kakak dari Kyai Amin Said dan masih banyak lagi.

c) Kendati kadang berbeda pandangan an pemikiran, Kiai Turaichan tetap menjalin hubungan yang baik dengan pihak-pihak yang sering menolak keputusannya. Bahkan, ia juga selalu bersikap akomodatif pada pemerintah, walaupun pemerintah pernah beberapa kali mencekalnya.

d) KH. Turaikhan juga dikenal sebagai tokoh yang terkenal keteguhannya memegang prinsip dan akidah. Walaupun pendapatnya kadang berbeda dengan mayoritas tapi beliau tetap kuat dan teguh memegang pendapat yang ia yakini kebenaranya.











BAB IV : Daftar Pustaka

Ahmad Musonnif,Ilmu Falak, Yogyakarta: Penerbit Teras, 2011

A.Khoirul Anam (ed), Kisah Ulama Berjuang Dan Mengawal Bangsa ,Tangerang:                

Pustaka Compass, Yayasan Compass Indonesiatama, Anggota IKAPI, Juli  2015)

fahmialinh, KH. Turaichan Adjhuri as Syarofi Kudus , 29 Juni, 2015, 

https://fahmialinh.wordpress.com/2015/06/29/kh-turaichan-adjhuri-as-syarofi-kudus/ ,Diakses pada  24 Mei 2016

Ibnu Mahdi Al 'Uraydhi Al Bantani, KH Turaikhan Adjhuri As Syarofi, Kudus Jateng,      


2011-09-02 20:13, http://pelitatangerang.xtgem.com/index/__xtblog_entry/93729-kh-turaikhan-adjhuri-as-syarofi-kudus-jateng?__xtblog_block_id=1, Diakses pada 24 mei 2016

M. Solahudin, Ahli Falak dari Pesantren (Kediri: Nous Pustaka Utama, Juni 2012)

Muhammad Hasyim dan Ahmad Athoillah, Biografi Ulama’ Nusantara ( Bojonegoro:  

Kakilangit Book,Cetakan III, Febuari 2012) 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar